Yang Tidak Aku Tahu



Yang Tidak Aku Tahu
Tia Larasati

Pada detik waktu yang kau sebut kemarin. Yang setiap detik terkikis oleh kesibukanmu hari ini atau esok, aku masih mengingatnya sebagai hari terindah. Waktu terus berjalan namun hatiku berhenti di detik itu. Saat aku berdiri di sampingmu, ketika kita sama-sama tersenyum oleh suatu perasaan yang orang sebut sebagai cinta. Namun waktuku hanya berhenti beberapa bulan dihari itu. Dan waktuku berhenti bertahun-tahun ketika pada akhirnya kau memutuskan menjauh, oleh satu dua alasan yang tak bisa ku mengerti. Waktuku berhenti di malam ketika kita saling berhadapan. Ketika kau menangis duluan dan aku hanya terbengong. Ketahuilah mungkin kau menangis semalam penuh tapi aku menghabiskan setiap malamku setelah malam itu untuk menangis. Hatiku retak dan hancur seketika di malam itu.
“Tau tidak Ra, aku sangat bersyukur bertemu denganmu. Aku sangat bersyukur aku dicintai oleh kamu. Aku bersyukur waktu mempertmukan kita, tapi Ra” Katamu terpenggal demi melihatku yang diam saja. Aku diam menantimu melanjutkan bicara.
“Aku merasa bersalah jika aku terus begini. Aku memang mencintaimu, tapi aku rasa aku tak pantas untukmu. Cinta kita tak seimbang Ra, kau sangat mencintaiku dan aku menganggapnya mainan.”
Aku seketika menatapmu tak percaya apa maksudmu dengan mainan? Kau tak benar mencintaiku? Namun aku tak bisa berkata apa-apa, aku juga tak bergeming ketika kau terisak didepanku, pun ketika kau bersimpuh diatas rumput. Aku masih berdiri di tempatku, menatap kosong pada pemandangan sungai yang mengalir tenang di depan sana. Namun pada akhirnya aku ikut duduk direrumputan. Mengalihkan pandangan padamu meski masih diam. Kau menatapku, meraih tanganku menggenggamnya erat dan kau semakin dalam menangis. Aku menggigit bibir bawahku, aku benar-benar tak bisa menangis malam itu.
Sampai esok kau dan aku masih di taman tepian sungai itu. Masih saling tatap meski tak saling lihat. Kau menatap mata kosongku. Aku tahu mungkin aku sangat menyedihkan malam itu, merasa sakit sampai tak bisa menangis. Tapi kau tak kalah menyedihkan, menyakiti hati sendiri sampai tak bisa berhenti menangis. Kita sama-sama tersakiti oleh satu perpisahan. Tapi untuk apa perpisahan itu kau putuskan jika kau sendiri merasa sakit? Mengapa kau begitu bodoh? Padahal kita bisa saja saling mengerti dan saling menjaga. Aku tak masalah cinta kita tak seimbang, aku tak perduli kalaupun kau tak memperdulikanku. Karena bagiku bersamamu itu sudah cukup. Tapi kau punya pandangan lain. Dan aku tak bisa apa-apa. Itu sudah keputusanmu.
Tiga  tahun setelah malam yang menyedihkan itu, aku tak menyangka kita dipertemukan di tempat pertama kali dipertemukan. Di kedai kopi yang kita kunjung selama beberapa bulan bersama. Aku duduk disudut ruangan yang menghadap jendela. Sambil menikmati secangkir kopi yang biasa kau pesan, aku menatap keluar menikmati pemandangan lalu lintas yang selalu ramai. Aku menopang daguku dengan satu tangan, tersenyum ketika seorang pemobil mengamuk pada pengendara motor yang tak sengaja menyenggol spion mobilnya. Aku menggeleng dan tertawa kecil demi melihat ekspresi marah itu. Seketika ingatan mengatarkanku pada kenangan bersamamu. Ketika hal yang serupa terjadi, kau dimarahi oleh pemilik mobil yang spionnya tak sengaja kau senggol. Kau hanya tersenyum sementara aku hanya tertawa di belakangmu. Pemilik mobil itu berhenti mengomel ketika lampu sudah hijau. Seketika membunyikan klakson panjang supaya motor didepannya cepat melaju dan menyingkir. Orang-orang yang semula berkerumun dan melihat keributan itu akhirnya satu persatu memudar. Kau segera kembali mengenakan helmmu. Kau  bilang maaf dan aku hanya menggeleng masih dengan tertawa.
Aku meraih gelas kopiku yang sudah kosong.  Aku segera memanggil pelayan untuk memesan satu cangkir lagi. pelayan itu mengangguk dan segera pergi. Aku kembali menatap keluar dan saat itulah kau melintas di depan kedai. Aku sampai membulatkan mata demi memastikan aku tak salah lihat, kau entah karena apa melihat kearahku, seketika mematung beberapa saat dan tersenyum pada akhirnya. Aku juga tersenyum meski canggung. Kau masuk ke dalam kedai dan bilang ingin duduk bergabung denganku. Aku mempersilahkan. Sungguh aku sangat canggung. Untung kopiku segera datang. Aku mengucapkan terimakasih pada pelayan sebelum  pelayan itu kembali pergi.
“Kopi hitam?” tanyamu. Aku hanya mengangguk.
“Sejak kapan kau suka kopi hitam? Sudah tidak suka latte?” tanyanmu lagi. Aku menatapmu dan tersenyum tipis setelah menyeruput sedikit kopi hitamku.
“Sejak kau pergi, aku berusaha untuk menyukai apa yang kau sukai. Belajar menjadi kamu agar aku sendiri bisa menjadi penawar rinduku atas kamu. Aku berusaha memenuhi apa yang kau minta sebelum kau meninggalkan aku, berhenti menjadi crewet, berhenti manja, berhenti terlalu memperhatikan lingkunganku semuanya.” Aku menengguk kopiku lagi.
“Tapi tidak semua kulakukan untuk kamu, lebih banyak ku lakukan untuk aku sendiri, berharap suatu saat kau kembali dan melihatku sudah dengan tampilan yang beda. Tidakkah aku sudah nampak dewasa sekarang? Jujur setiap saat aku sakit mengingat kamu. Namun aku tahu kadang kita harus sakit dulu untuk dapat mengerti semuanya.” Kau tertunduk, tak lagi menatapku.
“apakah kau baik-baik saja setelah meninggalkanku? Apa kau baik-baik saja setelah kembali melihatku? Oh iya, kau harus tahu, sejak kau tiba-tiba pergi, aku jadi sangat menyukai tempat ini, selalu menyempatkan weekendku untuk tinggal disini beberapa saat. Kau ingat taman terakhir kita bertemu? Aku sesekali mengunjunginya. Aku tak merasa sakit, justru merasa kuat setelah mengunjunginya.” Aku berhenti sejenak memainkan kacamataku.
“kau yang payah, pergi entah kemana setelah melukai perasaan seorang wanita. Bahkan di malam itu, kau menangis semalaman dan aku justru tak menangis. Kau tau kenapa? Karena sakit itu begitu sakit hingga sudah tidak berasa.” Aku menatapmu yang semakin tertunduk.
“Hentikan Ra” katamu pelan.
“Mengapa aku harus berhenti. Kau juga harus tahu bahwa”
“Ku bilang berhenti Ra” kau berteriak membuat pelayan kedai menatapmu,beruntung kedai sedang tidak ada pengunjung.
“Kau bilang kau sudah berubah, tapi kau masih saja cerewet. Apanya yang berubah? Kau hanya semakin pandai bicara Ra,” nada bicaranya memelan.
“Aku sedari tadi diam, menikmati setiap katamu yang menikam hatiku. Mungkin aku salah begitu saja meninggalkanmu kala itu. Tapi cobalah mengerti aku tak kuasa kala itu. Aku sangat mencintaimu makanya aku harus pergi.” Kau meraih taganku.
“aku menghabiskan tiga tahunku untuk mengikuti rangkaian kemo di Singapura” kau melepas topi yang sedari tadi menutup kepalamu.
“aku melakukannya untuk kau Ra, untuk kau” tiba-tiba aku merasakan perasaan sakit yang ku rasakan tiga tahun yang lalu. Namun ini sungguh sakit, lebih sakit, dan sangat, sangat, sangat sakit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senyumnya yang Hilang

bohong