KEHILANGAN KEDUA



Kehilangan Kedua
Tia Larasati
3 Tahun setelah kepergiannya, aku dikejutkan oleh kehadirannya lagi. Awalnya aku tak percaya, membentaknya dan hendak meninggalkannya ketika ia mengatakan dia adalah Roy. Orang yang amat aku cintai yang mati karena tertembak 3 tahun yang lalu. Namun ia tak berpatah semangat, ia terus mengejar langkahku sambil terus meyakinkanku, bahwa ia benar-benar Roy. Namun aku masih tak mendengarkan, omong kosong! mana mungkin orang yang sudah mati bisa hidup lagi? laki-laki ini hanya memainkanmu Ri! Jangan percaya! Aku terus mengatakan itu untuk meneguhkan hatiku. Bahwa laki-laki berseragam SMA itu memang bukan Roy.
“Aku tahu ini sulit untuk kau mengerti. Tapi ini sungguhan aku. Aku datang dari masa lalu. 3 tahun yang lalu.” Demi mendengar 3 tahun yang lalu, kakiku mendadak lemas, jantungku berdetak kencang. Aku menghentikan langkahku dan seketika bersimpuh. Aku merasakan kesedihan saat kehilangannya 3 tahun lalu. Ia mendekatiku dan mengelus rambutku. Mencoba menenangkan ku yang tengah terisak pilu.
“Tenanglah Ri, aku ada di sini.” Ucapnya.
“Apa kau akan terus di sini?” Tanyaku.
“Entah Ri, semua itu teka-teki” Ia menuntunku berdiri.
Saat itulah aku tahu ia menjelajah waktu untuk mengunjungiku. Ia bercerita banyak termasuk konspirasi pembunuhan di balik kematiannya. Seperti yang sudah diketahui bahwa ia ditembak di suatu  gedung tua yang tak dipakai, tempat penyandraanku oleh seseorang yang memiliki dendam pribadi pada Roy. Penyandraanku hanyalah alibi, karena Roy-lah sebenarnya target mereka. Aku menyesali aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Roy. Desing peluru 3 tahun yang lalu terdengar lagi olehku begitu pun teriakkan Roy sesudahnya. Badanku mendadak kaku.
“Kau sudah tahu akan ditembak, dan kau tetap pergi ke tempat itu tanpa penjagaan?” bentakku.
“Apa yang bisa ku lakukan, jika itu menyagkut nyawamu?” aku diam mencerna kalimatnya. Apa gunanya aku hidup, bila itu tanpamu? Bukankah tak bersamamu adalah kematian untuk ku Roy! Kalimatku tercekat di tenggorokkan.
“Ri, aku tadi memberimu kejutan, kau terlihat sangat bahagia. Aku juga bahagia. Sangat bahagia.” Kalimatnya lagi-lagi membuatku terdiam. Jantungku seolah berhenti sepersekian detik. Jika hari ini adalah ulang tahunku, berarti ia akan tertembak esok lusa. Aku hanya punya 3 hari mengulang semua kebersamaan kami.
“Ri, kau ingat kapan penembakan itu terjadi?” ditanyai begitu, aku kembali menagis. Bagaimana akau tak ingat, bagaimana mungkin aku lupa. Bukankah hari penembakannya adalah gugurku? Bukankah kematiannya juga kematian bagi hatiku.
“Tenanglah Ri, katakan saja. Siapa tahu aku bisa merubah situasinya.”
“Apa maksudmu, kau tak akan mati? Apa kau akan terus bersamaku?” Ia diam sejenak, lantas menatapku sambil tersenyum.
“Tidak Ri, tidak begitu. Aku mungkin bisa menjelajah waktu, tapi aku tidak bisa merubah apa lagi melawan takdir. Kalau pun aku tak tertembak mungkin bisa jadi aku malah tertabrak mobil atau tersendak makan siang atau”
“Hentikan Roy!” Potongku. Aku terdiam sekali lagi.
Suasana menjadi hening, sebelum pada akhirnya Roy menghilang ketika matahari mulai kehilangan pendarnya.
Besoknya ia datang kembali, di tempat dan jam yang sama. Sedari tadi ia terus diam, banyak merenung seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Doshite?” Tanyaku pada akhirnya.
Betsuni. Ku kira kau masih marah. Oh iya, hari ini tim basketku menang. Kau langsung lompat memelukku begitu aku keluar lapangan. Kau sungguh wanita yang agresif.” Ia tertawa kecil. Yang tak sadar membuatu tertawa pula. Aku memang suka sekali memeluknya tiba-tiba. Namun entah mengapa rasanya hatiku sakit mengingat hari-hari bahagiaku bersama Roy.
“Tapi aku sungguh mencintaimu Ri, sungguh mencintaimu. Aku senang bisa melihatmu di usia ke-21 mu. Selamat ulang tahun Ri.” Ia tertunduk.
“Kau tumbuh menjadi wanita yang dewasa dan menawan ya Ri, kau  akan mampu melewati semuanya. Gomenna” Ia mengakhiri kalimatnya dengan kata maaf.
Saat itu, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. aku segera menghambur ke pelukannya dan menangis. Namun ia hanya diam seperti mengabaikanku. Namun aku tahu ia juga menangis. Air matanya menitih pada tanganku yang mendekapnya. Kami berdua terisak dalam hening senja yang membawa duka.
“Ri, jika aku besok tak datang, kumohon jangan menangis. Aku tahu kau akan bisa menjalani hari tanpa aku.”
“aku tak akan sanggup.”
Uso dayo. Kau sudah melalui 3 tahun tanpa aku. Aku yakin kau bisa Ri”  Percakapan kami pada hari itu berakhir sampai di situ.
Namun esok hari, ia masih datang. Aku tersenyum melihatnya di seberang jalan. Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum. Semoga tak terjadi apa-apa batinku. Aishiteru katanya. Watashi mo jawabku. Ia tersenyum.
Ketika lampu sudah merah, tanpa ragu ia turun ke jalan untuk menyeberang. Namun tiba-tiba perasaan tak enak muncul di hatiku. Roy masih berjalan tanpa sedikit ragu. Matanya hanya fokus menatapku membuatku semakin khawatir. Aku mengedarkan pandangan kesegala penjuru. Astaga, dari sisi kiri Roy aku melihat sebuah mobil melaju kencang.
“Roy cepat.….”
“Roy awas mobil, Roy…..” Aku berulang kali meneriakinya, namun ia sama sekali tak mendengarku. Aku berlari ketengah jalan. Memeluk tubuh Roy dan seketika itu mobil itu menabrak tubuh kami sebelum kami sempat menyelamatkan diri. Tubuh kami terpelanting dan jatuh di tengah persimpangan. Roy tergeletak didepanku, tubuhnya sempat kejang namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku melihat darah segar mengalir dari tubuhnya. Aku masih melihatnya, sampai pada akhirnya tubuhnya tak bergerak. Hatiku kacau, aku menyaksikannya kehilangan nyawa. Ingin rasanya aku berteriak kala itu, tapi mulutku bungkam hingga pada akhirnya pandanganku semakin kabur, dan aku lelap tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, aku sudah di rumah sakit. 2 hari tak sadarkan diri tutur salah seorang suster. Seketika itu juga aku bertanya perihal Roy, namun suster itu tak menjawab sama sekali. Aku terus mendesak dan sesekali membentak. Suster itu akhirnya bicara. Mayat Roy menghilang ketika hendak dimandikan. Aku mengerti apa yang terjadi, aku mengangguk dalam kebengongan. Suster itu keluar sebentar dan masuk dengan sekantong plastik berisi barang-barang milik Roy. Di saku baju seragam Roy, aku menjumpai surat kecil yang ditulis Roy. Aku membacanya penuh haru. Sebuah puisi cinta yang selalu ku rindukan 3 tahun belakangan ini.
“Aku juga sangat mencintaimu Roy, sangat mencintaimu.” Aku mendekap erat surat Roy. seperti saat memeluknya.
Roy benar, manusia tidak akan pernah bisa merubah takdir. Hari ini aku kembali kehilangan Roy, aku kembali kehilangannya namun aku menemukan banyak termasuk menemukan semangat menjalani hariku tanpanya. Aku yakin aku akan kembali di pertemukan dengannya. Suatu saat nanti. Entah di kehidupan selanjutnya atau mungkin di surga kelak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senyumnya yang Hilang

Kamu adalah Kemarau